IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR UPAS KARET (Corticium salmonicolor) DI KEBUN PERCOBAAN BALAI PENELITIAN SUNGEI PUTIH


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karet (Hevea brasiliensis Muell.-Arg) berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di Jawa pada tahun 1906. Tanaman ini berasal dari sedikit semai yang dikirimkan dari Inggris ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari biji karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon (Semangun, 2000).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Universitas Free, Belanda, pada tahun 2020 mendatang kebutuhan karet dunia mencapai lebih dari 13,472 juta ton karet alam. Padahal kemampuan negara-negara produsen karet alam untuk memenuhinya hanya sekitar 7.8 jut ton. Bagi Indonesia, meningkatnya kebutuhan karet alam dunia memberikan harapan yang cerah karena peluang untuk mengisi pasar internasional semakin terbuka (Semangun, 2000).
Di Indonesia karet alam merupakan komoditas strategis terutama ditinjau dari total area (3,1 juta ha), sumber devisa (lebih dari 1 milyar US$), jumlah penduduk yang mata pencariannya bergantung pada perkaretan (12 juta jiwa) dan perannya sebagai pelestari lingkungan (Setyamidjaja, 1993). Selain sebagai sumber devisa, karet juga digunakan untuk bahan baku di dalam negeri terutama untuk industri ban (Setyamidjaja, 1993).
Sebagai negara produsen kedua terbesar di dunia pada saat ini, Indonesia berpeluang besar untuk menjadi produsen utama dalam dekade-dekade mendatang. Potensi ini dimungkinkan karena Indonesia mempunyai sumber daya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, baik melalui pengembangan areal baru maupun melalui peremajaan areal tanaman menggunakan klon-klon unggul. Namun, harapan ini akan berjalan dengan baik jika langkah-langkah strategis penanganan operasional dapat dilaksanakan dengan baik. Pada saat yang sama, negara-negara pesaing indonesia dengan sistem kelembagaan peremajaan tanaman karetnya yang lebih mapan, juga sedang menata diri untuk merebut pasar karet yang sangat prospektif dalam dua dekade mendatang (Depertemen Pertanian, 2007).
Dengan melihat adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet dimasa mendatang, maka upaya untuk meningkatkan produksi dan pendapatan melalui budidaya tanaman karet yang baik bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Untuk itu pengetahuan yang memadai tentang penaganan karet secara baik sangatlah penting dilakukan guna menunjang perkembangan perkebunan Karet di Indonesia.
Penyakit sering menimbulkan kerugian yang cukup berarti pada tanaman karet. Setiap tahun kerugian yang ditimbulkannya bisa mencapai jutaan rupiah dari setiap hektar tanaman karet. Biasanya kerugian tersebut tidak hanya disebabkan oleh rusaknya tanaman karet saja, tetapi juga oleh biaya pengendalian penyakit yang sangat mahal (Anonimus, 2008).
Lebih dari 25 jenis penyakit yang dapat menimbulkan kerusakan diperkebunan karet. Namun penyakit terpenting pada tanaman karet adalah jamur akar putih (JAP), jamur upas, penyakit daun dan kekeringan alur sadap (KAS). Jamur upas adalah penyakit yang dapat menyebabkan patahnya dahan dan ranting keret, Serangan penyakit ini terdapat pada segala tingkat umur tanaman keret, dan sangat berbahaya terutama pada tanaman muda yang belum disadap. Serangan pada tingkat umur demikian dapat berakibat parah, karena daya tahan pohon terhadap serangan penyakit ini masih belum kuat (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2003).
Jamur biasanya terjangkit pada kebun-kebun karet yang memiliki tajuk rindang, terutama pada musim hujan yang kondisi cuacanya sangat lembab dan cahaya matahari kurang dapat menembus tajuk-tajuk pohon yang rindang. Gejala serangan jamur upas biasanya dimulai dengan timbulnya bercak-bercak putih yang besar pada bagian kulit batang/cabang, yang terus menerus berkembang jika keadaan lingkungkungan mendukung, kelembapan yang tinggi adalah salah satu faktor pendukung perkembangan jamur upas (Setyamidjaja, 1993).
Untuk mengatasi penyakit karet tersebut, terutama penyakit jamur upas, cara-cara pengendalian harus dilakukan dengan konsep yang sesuai, cepat dan tepat, hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan penyakit tersebut. Sebaiknya usaha pencegahan lebih diutamakan dari pengobatan sehingga diperlukan pengamatan sedini mungkin secara berkala dan terus menerus (Anonimus, 2008).
Diagnosa penyakit yang cepat dan tepat akan sangat menentukan keberhasilan pengendalian penyakit. Sampai saat ini, cara-cara pengendalian penyakit karet yang dianjurkan dapat berupa kombinasi dari aspek kultur teknis, manipulasi lingkungan, dan atau penggunaan pestisida, atau masing masing aspek tersebut. Khusus dalam penggunaan pestisida, perlu diperhatikan akan dampak negatifnya terhadap manusia, lingkungan, tanaman, dan organisme pengganggu (OPT) itu sendiri (Sujatno, 2007).
1.2. Tujuan
Tujuan dari Praktek lapang ini adalah untuk mengetahui gejala serangan jamur upas dan teknik pengendaliannya pada tanaman karet di Balai Penelitian Sungei Putih, Galang, Deli Serdang Sumatera Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell.-Arg) dalam sistem klasifikasi digolongkan dalam:
Divisio      : Spermatophyta
Kelas         : Dicotyledonae
Ordo          : Euphorbiales
Famili        : Euphorbiaceae
Genus       : Hevea
Spesies     : Brasilensis (Muell.- Arg).
2.2. Syarat Tumbuh Tanaman Karet
a. Iklim
            Tanaman karet adalah tanaman daerah tropik.  Daerah penanaman di Indonesia  adalah  pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan, terletak pada zona antara 150LS dan 150LU. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman   karet tidak kurang dari  2500 mm/tahun, optimal antara 2500-4000 mm/tahun,  yang terbagi dalam  100-150 hari hujan. Ketinggian tempat  untuk pertumbuhan tanaman karet adalah  0-600 m dpl,  dan optimal  pada ketinggian 200 m dpl. Setiap kenaikan  100 m maka  matang sadap lebih  lambat 6 bulan. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman karet  adalah 20-35 0C  dengan kelembaban  75-90% dan kecepatan angin tidak terlalu kencang karena  dapat mengakibatkan batang patah  atau pohon tumbang (Setyamidjaja, 1993).
b. Tanah
Tanaman karet  dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis muda ataupun vulkanis tua, alluvial dan bahkan tanah gambut. Tanah tanah vulkanis umumnya memiliki sifat-sifat fisika yang cukup baik, terutama dari segi struktur, tekstur, solum, kedalaman air tanah, aerasi, dan drainasenya, akan tetapi sifat-sifat kimianya umumnya sudah kurang baik, karena kandungan haranya relatif rendah. Tanah–tanah alluvial umumnya cukup subur, tetapi sifat fisiknya terutama drainase akan menolong perbaiki keadaan tanah ini .
Reaksi tanah yang umum ditanami karet mempunyai pH antara 3.0 – 8.0. pH tanah di bawah 3.0 atau di atas 8.0 menyebabkan pertumbuhan tanaman yang terhambat. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet adalah sbb :
solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan,
- aerasi dan drainase baik,
- remah, poros dan dapat menahan air
- tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir,
- tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih tebal dari 20 cm,
- kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro,
- kemiringan tidak lebih dari 16 %,
- permukaan air tanah tidak kurang dari 10 cm, (Setyamidjaja 1993).
a. Penyebab Penyakit
Penyakit jamur upas karet disebabkan oleh jamur Coticium salmonicolor B. et Br. Oleh Venkatarayan (1950) dinamakan Botryobasidium salmonicolor (B. Et br) Venk. Julich (1975) menamakan Pellicalaria salmanicolor (B. et Br) Dast. Tjokrosoedormo (1983) menamakanUpasia salmanicolor (B. et Br) Tjokr. Meski sampai sekarang masih dikenal dengan namaCorticium salmonicolor (Semangun, 2000).
b. Gejala Penyakit
Biasanya penyakit ditemukan pada percabangan atau pada bagian bawah percabangan dan atau ranting.  Serangan awal dari Corticium salmonicolor ditandai dengan adanya benang-benang halus yang mirip dengan benang laba-laba pada bagian cabang yang diserang, pada tingkat permulaan serangan penyakit ini umumnya belum nampak tanda-tanda penyakit pada tajuk, karena pertumbuhan hifa-hifa cendawan masih terbatas pada permukaan kulit saja.  Pada tahap ini pengamat yang belum terlatih akan mengalami kesulitan untuk menetapkan gejala penyakit tersebut.  Tahap selanjutnya patogen membentuk kumpulan-kumpulan hifa yang dilanjutkan dengan pembentukan kerak yang berwarna merah jambu (warna pink=salmonicolor). Pada permukaan lapisan cendawan terbentuk sejumlah besar spora cendawan yang mudah menyebar oleh angin, dan percikan air. Kemudian akan terbentuk jenis spora sempurna, stadium corticium juga bisa menghasilkan spora tidak sempurna (inferfect stage), yaitu tingkatan Necator decretus, berupa bentuk –bentuk kecil berwarna merah jingga yang masing-masing mengandung sejumlah besar spora.
Pada tingkat kritis ini benang-benang cendawan telah berhasil menembus kulit, dimana kemudian terjadi luka-luka yang dapat mengakibatkan keluarnya tetesan-tetesan lateks di sekitarnya. Di sebelah bawah tempat serangan pada kulit yang masih sehat kemudian tumbuh tunas-tunas baru yang berasal dari mata tidur.
Jika serangan jamur ini tidak segera dikendalikan, terutama sampai melingkari kulit dahan, akhirnya akan menyebabkan matinya tajuk dahan. Tanda-tanda yang khas adalah: layunya daun yang kemudian mengering dan tetap menggantung pada pohon selama beberapa waktu. Lapisan kerak jamur upas lambat laun akan berubah warna menjadi lebih pucat, terutama pada cuaca kering. Kulit dahan di bawah kerak jamur upas itu kemudian membusuk kering berwarna kehitaman dan timbul pecah-pecah yang dalam dan sampai ke bagian kayu, dapat mengakibatkan mengelupasnya kulit yang telah kering, jika telah seperti ini, maka dahan atau ranting akan mudah patah apabila angin agak kencang (Setyamidjaja, 1993).
c. Daur Penyakit
Jamur upas mengadakan infeksi pada dahan dan ranting, patogen bersumber dari tanaman disekitar yang telah terinfeksi dan sakit duluan, patogen dapat menyebar melalui angin, percikan air hujan dan lain-lain. Setelah mengadakan infeksi, dalam waktu beberapa hari jamur pada dahan atau ranting akan menghasilkan banyak sporangium, sporangium ini akan tersebar lagi ke tanaman-tanaman yang lainnya.
Corticium salmanicolor dapat bertahan pada ranting dan dahan tanaman yang telah terserang dalam waktu yang agak lama, apabila kelembaban tinggi, maka jamur akan menyebar dan berkembang dengan pesat, suhu yang sesuai untuk perkembangan spora jamur upas berkisar antara 20- 270C.
d. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit
Penyakit jamur upas banyak dijumpai pada klon-klon yang bertajuk rindang dan pada tanaman muda berumur 4 – 12 tahun yang ditanam pada areal yang selalu lembab.  Di daerah dekat persawahan atau rawa dan sungai merupakan daerah yang selalu lembab.  Penyakit jamur upas biasanya berjangkit pada musim hujan atau pada keadaan yang sangat lembab atau berkabut.  Disamping faktor-faktor tersebut kerentanan klon karet juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Klon-klon karet yang rentan terhadap jamur upas antara lain GT 1, RRIM 600, RRIM 623, PR 255, PR 300, PR 226, dan PR 228 (Setyamidjaja, 1993).
III. KEADAAN UMUM BALAI PENELITIAN SUNGEI PUTIH
3.1 Letak dan Luas Wilayah
Balai Penelitian Sungei Putih terletak di Desa Sungei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang Sumatera  Utara. Balai  ini berada sekitar 60 Km dari kota Medan. Dapat dicapai  dalam waktu 90 menit dengan kendaraan roda 2 dan  4. Balai ini berada pada ketinggian ± 80 m Dpl.
Lokasi ini berbatasan dengan :
ü  Sebelah utara berbatasan dengan  Desa Petumbukan
ü  Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Galang dan PTPN III Sungei Karang
ü  Sebelah selatan berbatasan dengan  Tanjung Purba
ü  Sebelah barat berbatasan dengan  Desa Bangun Purba dan areal  PT. Serdang Tunggal.
Balai Penelitian Sungei Putih memiliki Kebun Percobaan yang berbatasan dengan areal PT. Perkebunan Nusantara III di sebelah Utara, Selatan, dan Timur dan  areal PT. Serdang Tunggal dan areal penduduk di sebelah Barat. Kebun Percobaan memiliki peranan yang penting karena selain sebagai tempat pelaksanaan penelitian bagi peneliti Balai Penelitian Sungei Putih juga sebagai sumber dana melalui tanaman produktif yang ada di Kebun Percobaan. Luas kebun percobaan yang ada di Sungei Putih 427,04 ha yang terdiri dari tanaman karet yang telah menghasilkan 188,77 ha (44,20%), tanaman karet belum menghasilkan 178,62 ha (41,82%) yang termasuk di dalamnya plasma nutfah dan kebun persilangan, kebun kayu okulasi (KKO) 10 ha (2,34%), tanaman kelapa sawit yang telah menghasilkan 12 ha (2,8%), dan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan 37,65 ha (8,81%). Klon-klon tanaman karet yang ditanam di Kebun Percobaan Sungai Putih antara lain: PB 260, PB 330, PB 340, IRR 118, IRR 112, IRR 104, IRR 39, RRIM 921, dan BPM 107.
Beberapa penyakit yang menyerang pertanaman karet di Kebun Percobaan adalah penyakit jamur akar putih Rigidoporus lignosus, jamur upas Corticium salmonicolor, kanker garisPhytophthora palmivora, mouldy rot Ceratocystis fimbriata, brown blast, embun tepungOidium heveae, antraknos Colletotrichum gloeosporioides, penyakit gugur daunCorynespora cassiicola, bercak daun Helminthosporium Helminthosporium heveae, layu pembibitan Fusarium sp.
Kegiatan yang ada di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih antara lain pembibitan, eksploitasi, pemeliharaan, administrasi dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 65 orang yang terdiri dari 29 pegawai dan 36 tenaga harian lepas. Selain itu masih ditambah karyawan pemborong untuk pekerjaan yang tidak tetap melalui mekanisme borongan.
Hasil tanaman karet yang dihasilkan kebun percobaan dijual dalam bentuk lateks, lump, skrep dan slab. Lateks adalah getah karet yang masih dalam bentuk cair, lum yaitu getah karet yang telah menggumpal di mangkuk penampung, sedangkan slab adalah lateks yang dibekukan. Produksi lateks pada tahun 2005 sebesar 279.575 kg atau rata-rata 23.279 kg tiap bulannya, hasil lum pada tahun 2005 sebesar 29.291 kg dengan rata-rata per bulan 2.490 kg. Penjualan slab tahun 2005 sebesar 77.790 kg atau 6.482 kg tiap bulannya. Hasil tanaman sawit yang dipanen dari kebun percobaan dijual dalam bentuk tandan buah segar dengan mekanisme tender yang dilakukan pihak kebun.
3.2. Sejarah Balai
Balai penelitian Sungei Putih sebelumnya adalah  Pusat Penelitian Sungei  Putih, menjadi Balai pada tanggal 1 Juni 2003 daan sekarang Pusat Penelitian karet berada  di Tanjung Morawa, Medan. Balai penelitian lainnya yang berada  di bawah naungan  Pusat Penelitian Karet  adalah Balai penelitian Sembawa  (Sumatera Selatan), Balai penelitian Karet Bogor (Jawa Barat) dan Balai penelitian  Getas (Jawa Tengah). Perubahan nama Balai Penelitian  karet Sungei Putih memang sering  terjadi sebelumnya. Sejak berdiri (1981) bernama Pusat Penelitian  Karet   Sungei Putih sampai  tahun  1989. Pada 3  Juli 1989 menjadi Balai, kamudian  menjadi Pusat Penelitian  sampai mei 2003  dan sekarang  menjadi Balai Penelitian Sungei Putih.
Balai Penelitian  Sungei Putih yang sebelumnya  bernama  pusat penelitian karet  didirikan  dengan  SK Menteri Pertanian RI No 790/Kpts/org/09/1981. Pada  tanggal 11 september  1981  berada di bawah  Badan Penelitian  dan Pengembangan  Pertanian Depertemen Pertanian.
3.3. Iklim, Tofografi dan Jenis Tanah
a. Iklim
Salah satu indikator yang sangat penting adalah dimana dapat menggambarkan situasi cuaca Balai Penelitian Sungei putih, salah satunya adalah curah hujan, data ini sangat diperlukan sebagai pedoman kultur teknis dan intensitas serangan penyakit tanaman keret yang bisa ditentukan oleh kelembaban. Data curah hujan Balai penelitian Sungei Putih dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Data Curah Hujan Balai Penelitian Sungei Putih Tahun 2007 – 2008
No.
Bulan
2007
2008
CH (mm)
HH
CH (mm)
HH
1
Januari
94
6
--
2
Februari
62
3
--
3
Maret
26
2
198
9
4
April
175
9
193
9
5
Mei
405
12
222
7
6
Juni
109
4
85
7
7
Juli
225
7
208
6
8
Agustus
241
5
213
6
9
September
239
6
435
9
10
Oktober
180
3
218
8
11
November
151
13
154
7
12
Desember
179
4
163
5
Jumlah
2086
74
2089
7
b. Tofografi
Tofografi suatu areal/lahan merupakan bentuk dari permukaan tanah/lahan tersebut yang sering dinyatakan dalam derajat kemiringan tanah/lahan tersebut. Tofografi pada Balai Penelitian Sungai Putih pada umumnya datar dengan luas lahan seluruhnya 458,84 Ha.
c. Jenis tanah
Secara geologis Balai Penelitian Sungai Putih memiliki jenis tanah atau tekstur tanah mineral dengan ketinggian tempat 80 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah podsolik merah kuning dan pH tanah berkisar 5 – 7 dengan sistem drainase baik, kesuburan tanah juga baik.
3.4. Luas Lokasi Balai
Luas areal Balai penelitian  Sungei Putih adalah 479,84 Ha. Dilengkapi dengan 4 laboratorium  yaitu : laboratorium tanah, proteksi, teknologi pengolahan, dan fisiologi serta 3 rumah kaca dan 1 stasiun klimatologi. Kebun percobaan Sungei Putih dilengkapi dengan  kebun plasma nutfah karet  sebagai bahan dasar pemuliaan tanaman karet. Rincian penggunaan areal lahan  Balai penelitian Sungei Putih tahun 2006 dapat  dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Jenis Klon Penghasil Latek dan Luas Lahan
NoJenis klonLuas lahan (Ha)Keterangan
1GT 1102,00Klon primer penghasil kayu dan latek, batang agak jagur, kulit coklat tua sampai kehitaman.
2BPM 16,00Balai/pusat penelitian perkebunan medan, penghasil latek.
3PR 3619,60Keturunan klon Tjir (Tjirandji) penghasil kayu latek dan kayu.
4BPM 245,9Balai/pusat penelitian medan, penghasil latek.
5AV 203770,40Penghasil latek. Warna latek kekuning-kuningan.
6PR 22815,30Klon keturunan BR 2 dan PR 107. penghasil latek.
7PR 30015,30Klon keturunan PR 226 dan PR 228, penghasil latek.
8PB 26080,20Klon unggul penghasil latek.
9RRIM 606163,00Rubeber Research Institute of Malaysia. Klon berasal dari malaysia.
Sumber: Balai Penelitian Sungei Putih         
IV. METODE PRAKTEK LAPANG
4.1 Tempat dan Waktu Praktek Lapang
Praktek lapang ini dilakukan di Laboratorium dan Kebun Percobaan di Balai Penelitian Sungei Putih. Praktek Lapang ini berlangsung dari tanggal 27 Juli sampai dengan tanggal 10 Agustus 2009.
4.2. Bahan dan alat Praktek Lapang
Bahan dan alat yang digunakan untuk melaksanakan praktek lapang sebagai berikut:
- Tanaman karet yang belum menghasilkan (TBM)
- Bio fugisida
- Kuas
- Kamera
- Buku, alat tulis dan lain-lain.
4.3. Metode Praktek Lapang
Praktek lapang ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu persiapan pelaksanaan praktek itu sendiri, tahan pengambilan data dengan cara pengamatan langsung ke lapangan dan tahap penulisan laporan.
Adapun teknik pengambilan data menggunakan tahapan sebagai berikut:
a. Data Primer
Merupakan data yang didapat dengan melakukan pengamatan langsung pada tanaman yang terserang di lapangan. Serta mewawancarai langsung tim peneliti dan pembimbing lapangan.
b. Data sekunder
Data di peroleh dari pembimbing lapangan di Balai Penelitian karet Sungei Putih, di samping itu juga dilengkapi berbagai literatur dan referensi yang menunjang terlaksananya praktek lapang ini.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan dan data-data penelitian sebelumnya di balai Penelitian Sungei Putih, dapat diketahui bahwa penyakit batang dan cabang  jamur upas pada tanaman karet sangat penting, terlihat pada beberapa lokasi kebun yang serangannya  mencapai skala 4 atau skala yang harus dikendalikan, walau tanaman telah dirawat dan dilakukan monitoring gejala penyakit pada kurun waktu tertentu, tetapi penyakit tetap saja bisa menyerang. Namun, pengendalian tetaplah dilakukan, yaitu pada tanaman yang terserang maupun tanaman yang baru menunjukkan gejala awal.
Secara luas pengendalian penyakit jamur upas ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
  1. a.      Pengendalian Secara Preventif
- Yaitu mengurangi kelembapan kebun dengan cara mengatur jarak tanam yang sesuai, memotong dahan dan cabang-cabang yang terlalu rindang.
- Memusnahkan sumber penularan, yaitu dahan atau ranting yang terinfeksi terinfeksi dipotong dan di bakar atau ditanam dalam tanah.
- Jangan menanam klon yang peka terhadap penyakit seperti: Tjir 1, PB 28/59, RRIM 501, 600, 618 dan 701.
  1. b.      Pengendalian Secara Kimia
- Mendesinfeksi bagian yang terserang dengan carbolinium planetarium 10%, Izal 10%, Antimucin 0,5%, Fylomac 0,5% atau Santar A1 : 2 (semua berbentuk cairan), sampai batas 15 cm dari bagian yang terserang, kemudian dikerok dan dilumasi colter.
- Menyemprot bagian yang terserang dengan Fungisida bubur Borducoux 2%. Cara membuat bubur Borducoux 2% adalah sebagai berikut: 400 gr terusi (CuSO4), 200 gr kapur tohor, dan 20 liter air, semua bahan dicampur dan diaduk. Dapat juga digunakan fungisida Copper Oxychloride 1% (10gr/liter air).
Pada pengendalian dengan cara menyemprot ini gunakanlah sprayer yang dilepas dop – spiralnya yang terdapat didalam nozzle. Dengan demikian, sewaktu menyemprotkan fungisida akan diperoleh semburan yang cukup kuat sehingga dapat menjangkau  bagian dahan yang terserang.  Cara terakhir ini dapat digunakan pada pohon yang belum disadap. Untuk pohon yang telah  disadap cara ini tidak dianjurkan karena adanya resiko tercampurnya bahan tembaga  ( Cu ) yang terdapat didalam bubur Borduceux atau COC dengan lateks yang dapat menurunkan kualitas hasil karet, yaitu menjadi lengket dan kurang elastis.
5.1. Usaha Pengendalian Jamur Upas yang di Lakukan di Balai Penelitian Sungei Putih
            Ada beberapa cara pengendalian terpadu penyakit jamur upas yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor di Balai Penelitian Tanaman Sungai Putih yaitu  dengan memakai beberapa teknik pengendalian yang sesuai untuk mengendalikan penyakit jamur upas tersebut. cara-cara pengendaliannya yaitu:
  1. a.      Monitoring
Kegiatan pemantauan dilakukan secara berkala di areal kebun untuk  pencegahan berkembang dan menyebar penyakit  pada tanaman yang sehat. Data yang diperoleh dari hasil monitoring di evaluasi setiap minggu untuk menetapkan waktu yang tepat melakukan pengendalian.
  1. b.      Kultur teknis
- Mengurangi tajuk tanaman yang terlalu rindang dan banyak.
- Tidak menanam klon-klon yang rentan serangan penyakit jamur upas.
- Drainase yang baik
- Membersihkan gulma
- Pemberian pupuk yang berimbang dan tepat dosis.
  1. c.       Kimiawi/fungisida
- Mengobati bagian kulit yang sakit
Cara pengobatan :
1. Permukaan kulit luar yang sakit dikerok hingga tampak jaringan sehat.
2.Bekas kerokan dilumas dengan larutan fungisida1. Difolatan 4 F (Langsung dilumaskan).
a. Calixin ready mixed  (Langsung dilumaskan)
b.Calixin 750 EC atau Bayleton 250 EC (diencerkan 10 cc/1 ltr air + tepung    kaolin secukupnya/bahan tersebut   langsung dilumaskan).
dPengendalian Hayati
Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan mikro organisme antagonis yang telah terbukti efektif mengendalikan jamur upas pada tanaman karet. Aplikasinya dilakukan dengan mengoleskan Biofungisida tersebut ke daerah batang atau ranting tanaman yang terserang.
Agen Antagonis yang digunakan sebagai Bio Fungisida adalah:
- Jamur Actinomycetes sp
- Bakteri Psedomonas sp
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
  1. Penyakit jamur upas yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor dapat menyerang  dahan dan ranting tanaman karet dan merupakan salah satu penyakit penting dalam budidaya tanaman karet.
  2. Gejala penyakit jamur upas dapat diketahui dengan adanya tanda penyakit, seperti adanya hifa yang berbentuk sarang laba-laba.
  3. Persentase serangan jamur upas dibalai Balai Penelitian Sungei Putih rata-rata masih mudah yaitu sekitar 10% karena keberadaan penyakit selalu dapat dikendalikan dengan baik.
  4. Pengendalian dengan menggunakan fungisida kimia dan biofungisida merupakan tindakan pengendalian penyakit jamur upas di Balai Penelitian Sungei Putih.
  5. Fungisida yang sering dipakai dalam mengendalikan jamur upas di Balai penelitian Sungei putih adalah:
  • Defolatan 4 F (Langsung dilumaskan)
  • Calixin ready mixed  (Langsung dilumaskan)
  • Calixin 750 EC atau Bayleton 250 EC (diencerkan 10 cc/1 ltr air + tepung    kaolin secukupnya/bahan tersebut   langsung dilumaskan).
6.2. Saran
1. Monitoring yang teratur perlu dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan jamur upas pada pertanaman karet.
2. Tanaman yang sudah memperlihatkan gejala serangan jamur upas harus dikendalikan sedini mungkin agar kesehatan dan produktivitas tanaman tetap baik.
3. Perawatan tanaman harus dilakukan secara intensif untuk mengurangi serangan jamur upas dilapangan.
4.  Penggunaan aplikasi biofungisida sebagai salah satu cara pengendalian jamur upas sebaiknya dapat terus ditingkatkan, sehingga pemakayan fungisida kimiawi dapat terus dikurangi.
DARTAR PUSTAKA
Anonimus. 2008. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya, Jakarta.
Depertemen Pertanian, 2007. prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi ke 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2003. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian OPT Karet. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta..
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
SetyamidjajaD.1993. Karet budidaya dan Pengolahan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sujatno, dkk. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Penyakit pada Tanaman Karet. Balai Penelitian Sungai Putih Medan.

0 komentar:

Posting Komentar